
Jakarta –
PT Asabri (Persero) mengajukan Penyertaan Modal Negara (PMN) 2025 sebesar Rp 3,61 triliun. Direktur Utama Asabri Wahyu Suparyono menyampaikan PMN itu disarankan untuk penyehatan keuangan perusahaan dan pembayaran premi terhadap peserta.
Sebagai informasi, Asabri merupakan BUMN pengurus aktivitas asuransi bagi TNI, Polisi Republik Indonesia dan Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Kemhan dan Polri.
“Hal yang mendasari seruan PMN, alasannya merupakan langkah strategis yang sudah dan akan dijalankan tersebut diperkirakan belum menampilkan sustainability, maka perseroan mengajukan PMN sebesar Rp 3,61 triliun untuk APBN 2025,” kata beliau dalam rapat dengar pertimbangan dengan Komisi VI dewan perwakilan rakyat RI di Gedung dewan perwakilan rakyat RI, Jakarta Pusat, Rabu (10/7/2024).
Baca juga: Erick Thohir Tunjuk Mantan Penyidik Kasus Munir Kaprikornus Komisaris Asabri |
Pihaknya meyakini, jikalau PMN disetujui maka sanggup menyelesaikan permasalahan Asabri antara lain peningkatan ekuitas menjadi positif, penambahan aset produktif dengan hasil investasi yang dapat menutup biaya, dan menampilkan tingkat pengembangan yang maksimal terhadap peserta.
“Jadi postur laporan keuangan, walaupun sudah ada perbaikan dari 4 tahun kemudian (ekuitas negatif) Rp 13,1 triliun, hari ini Rp 1 triliun,” terangnya.
Wahyu menyebutkan memang keadaan perusahaan dihadapkan banyak sekali masalah, di antaranya keuangan yang negatif. Kondisi itu terjadi diakibatkan alasannya merupakan penurunan nilai masuk akal aset investasi, rasio klaim dan peningkatan beban cadangan, diperkirakan tren penurunan ini akan berlanjut. Solvabilitas yang dimiliki belum menjamin going concern perusahaan.
Baca juga: Asabri Mulai Pulih, Aset Naik Tapi Ekuitas Masih Minus Rp 1,58 T |
Masalah selanjutnya adalah, jumlah aset investasi yang dimiliki di sekarang ini belum bisa menampilkan hasil untuk menutup gap antara pembayaran klaim dengan penerimaan premi, alasannya merupakan besarnya aset investasi non-produktif. Hasilnya pengembangan yang diberikan terhadap peserta menjadi tidak optimal.
Ketiga, tingginya beban klaim ketimbang penerimaan premi, sehingga dikehendaki sumber pendanaan/pendapatan lain untuk menutupi gap antara premi dan beban klaim. Sejak 2017 gap tersebut dipenuhi dari hasil investasi dan likuidasi aset investasi.